Sunday, July 3, 2016

Sharing Menulis di Festival Literasi Jakarta 2016


Jum’at, 3 Juni 2016 lalu, aku diundang sebagai pembicara di acara Festival Literasi Jakarta 2016 oleh panitia dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Sebetulnya aku sudah diberi tahu info ini semenjak aku mengisi di acara MGMP Bahasa Inggris di SMAN 8 Jakarta. Tetapi kegiatannya diundur beberapa minggu setelahnya. Cerita tentang kegiatan di SMAN 8 Jakarta itu bisa dibaca di link ini: Sharing di Seminar Guru "Gerakan Literasi Sekolah".

Acara Festival Literasi ini diikuti oleh berbagai sekolah yang membuat stand-stand mengenai literasi di sekolahnya. Mulai SD, SMP, SMA, para murid berlomba untuk unjuk bakat dalam bidang literasi, diantaranya mendongeng, pidato, sampai musikalisasi puisi. Acara ini diadakan di Universitas Trilogi Jakarta. Aku datang kesana bersama kepala sekolahku, Pak Fakhruddin, dan guru Bahasa Inggris yang waktu itu mengajakku untuk ikut mengisi di SMAN 8 Jakarta, Miss Arifah.

Sehari sebelumnya, aku diberi rundown acaranya oleh Miss Arifah. Disitu tertulis bahwa aku akan sharing proses kreatif menulis bersama penulis dari SMAN 39 Jakarta. Aku jadi teringat ketika mengisi di SMAN 8, ada guru SMAN 39 yang bilang bahwa beliau punya murid yang juga seorang penulis, yaitu Ayunda. Wah, akhirnya setelah lama tidak bertemu aku bisa sharing menulis dengan Kak Yunda!

Aku, Pak Fakhruddin, dan Miss Arifah berangkat dari sekolah setelah Jum’atan. Hari itu adalah hari terakhir PAT, jadi aku ke sekolah dengan membawa buku pelajaran yang diujiankan serta membawa satu tas lagi berisi buku-bukuku yang kutitipkan di ruang guru. Sesampainya disana, aku melihat banyak stand per sekolah yang menunjukkan karya-karya muridnya. Labschool, SMAN 13, SMAN 26, SMAN 36, SMAN 12, SMA MH Thamrin, SMAN 39, MAN 4, MAN 3, SMPN 1, SMPN 115, Santa Ursula, Don Bosco Pondok Indah, SMAN 8, Mentari School, SD Penabur 1, SDN Menteng 1, dan masih banyak lagi.

Kami langsung diantar ke tempat acara. Pak Fakhruddin dan Miss Arifah menonton, sementara aku masuk ke ruang tunggu dan bertemu dengan Kak Yunda yang sedang mengobrol dengan beberapa pengisi acara lainnya. Rupanya Kak Yunda sudah di tempat semenjak pukul 10, dan acara dimulai terlambat. Jadi, sepertinya jadwal kami tampil pukul tiga sore akan diundur. Kak Yunda juga cerita bahwa ia sempat bertemu Nabilah JKT48.

Aku akhirnya juga menonton rangkaian acaranya. Banyak yang hadir disana. Ada dari Kementerian Agama, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, dan banyak tamu undangan lainnya. Ternyata, Nabilah JKT48 dipilih sebagai Duta Literasi karena minatnya yang besar pada bidang membaca.

Sebelum tampil, aku bertemu Bapak Dr. Sopan Adrianto, M.Pd., Kepala Dinas Pendidikan provinsi DKI Jakarta. Aku juga bertemu Bapak Mohammad Husein yang jadi Ketua Panitia Festival Literasi Jakarta 20016 ini. Dan untuk kesekian kalinya, aku juga bertemu dengan Bu Desi dan Bu Yully, guru-guru yang sangat baik hati. Aku, Pak Fakhruddin, dan Miss Arifah berfoto bersama semuanya dengan mengikutsertakan buku-bukuku. Aku juga bertukar kartu nama dengan beberapa guru.

Saatnya aku dan Kak Yunda tampil. Aku sharing pengalamanku menulis dengan Kak Yunda di panggung utama. Kami membahas bagaimana kami mendapat ide menulis dan berinteraksi dengan siswa-siswi dari sekolah lain yang juga tertarik dalam dunia tulis menulis. Sayangnya, waktu berlalu begitu cepat. Setelah sharing, aku juga sempat diwawancara oleh Radar Online.

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Aku mengitari stand, bertemu wajah-wajah yang kukenal seperti temanku saat SMP, atau teman yang kutemui saat mengikuti suatu kegiatan. Tak lupa berfoto dengan Kak Yunda yang juga langsung bergegas ke acara selanjutnya. Setelah puas berkeliling dan berfoto-foto, aku, Pak Fakhruddin, dan Miss Arifah kembali ke sekolah.

Terima kasih kepada Bu Desi, Bu Yully, Pak Mohammad Husein, dan lain-lain yang menjadi panitia di acara Festival Literasi Jakarta 2016 ini dan telah mengundangku di acara keren ini. Semoga nanti aku bisa ikut berpartisipasi lagi dalam kegiatan literasi yang lain.

Terima kasih kepada Pak Fakhruddin dan Miss Arifah atas izinnya sehingga aku berkesempatan untuk bisa sharing di depan teman-teman dari berbagai sekolah. Terima kasih juga untuk guru-guru dan teman-teman yang selalu mendukung kegiatanku. Doakan agar aku bisa terus berkarya, ya. ^_^

Foto-foto lengkapnya ada di Facebook-ku:
https://www.facebook.com/muthia.fadhila/media_set?set=a.1028401517255129&type=3

Saturday, July 2, 2016

SMA Labschool Jakarta di Ajang FLS2N Jakarta Timur 2016


Senin, 16 Mei 2016, ketika aku masih asik mendengarkan penjelasan materi sosiologi oleh Pak Marsono, Ocal, sang ketua kelas, mengkodekan dari jendela kecil di pintu kelas bahwa aku diminta untuk keluar. Aku pun meminta izin Pak Marsono untuk keluar. Kata Ocal, aku dipanggil Bu Reni, guru Bahasa Indonesia, untuk membahas Festival Lomba Seni Siswa Nasional, atau yang biasa disebut FLS2N.

Seminggu sebelumnya, aku ingat Bu Reni pernah bertanya padaku mengenai kegiatanku di minggu-minggu itu. Aku menyebutkan bahwa aku juga masih harus menyelesaikan artikel untuk majalah sekolah dan Kompas Muda. Bu Reni juga menyampaikan maksudnya untuk mengajakku ikut FLS2N cabang perlombaan film pendek.

Di ruang guru, sudah ada Bu Reni dan Soka, murid X IPS 1 yang menjadi sutradara film 1991, Winner Labs Film Festival 2016. Sejak SMP pun, Soka juga sudah mengikuti lomba-lomba film pendek bersama Padma yang sekarang sekelas denganku. Bu Reni menjelaskan bahwa 2 hari lagi, tepatnya Rabu, 18 Mei 2016, akan diadakan FLS2N tingkat kotamadya Jakarta Timur di SMAN 36 Jakarta. Kami diberikan lembaran berisi ketentuan-kententuan lomba. Mulai dari tema, unsur penilaian, dan sebagainya. Saat itu juga, kami harus mulai menggagas ide, membuat naskah, dan mempersiapkan hal-hal lain. Bu Reni juga sudah membuat surat izin untuk kami tidak mengikuti pelajaran dan fokus pada lomba.

Aku, Soka, dan Ocal mulai brainstorming di TRRC, ruang rapat sekolah, dimana ada beberapa siswa lainnya yang ternyata juga sedang mempersiapkan diri untuk lomba poster dan kriya. Tema film pendek yang harus dibuat adalah ‘Sekolahku Inspirasiku’. Di saat mendadak seperti ini, otakku blank, meskipun terbesit beberapa skenario tidak tuntas di pikiran. Aku baru menyadari bahwa beban membuat film jauh lebih berat daripada menulis cerita yang seperti biasa aku lakukan. Saat mengikuti Winner Camp Lomba Menulis Surat ‘Generasiku Melawan Korupsi’, aku ingat materi skenario yang dibawakan oleh kak Gina S. Noer. Beliau mengatakan bahwa kunci membuat skenario adalah “Show, don’t tell”. Cerita tentang kegiatanku di Winner Camp Lomba Menulis Surat ‘Generasiku Melawan Korupsi’ bisa dibaca di link ini: Cerita dari Winner Camp LMS Pos Indonesia 2016.

Kebetulan hari itu aku juga membawa laptop sehingga bisa langsung mengerjakan skenario di laptop. Tidak lupa, aku memberi tahu mama kalau aku diminta mewakili sekolah untuk ajang FLS2N film pendek. Kuberi tahu tempat dan waktu lombanya, juga teknisnya bahwa segala sesuatu harus dikerjakan hanya bertiga. Mulai dari membuat skenario, syuting, editing, bahkan pemeran film itu. Sekaligus bertukar inspirasi dan mendapat aspirasi dari mama.

Soka tiba-tiba mengusulkan untuk membuat film pendek dari puisi atau lagu. Pada saat itu, kami sudah punya ide tentang pohon harapan. Aku langsung teringat akan puisiku yang kutulis beberapa waktu lalu. Isinya tentang pohon yang kujadikan perumpamaan. Soka pun setuju dengan puisiku dan aku mulai merancang skenario di sekolah berdasarkan puisinya. Tepat sebelum waktu pulang sekolah, skenarionya selesai dibuat. Meski filmnya nanti hanya berdurasi 5 menit, kami ingin menunjukkan sesuatu yang sederhana namun bermakna dalam film tersebut. Kami menunjukkan hasil skenarionya pada Bu Reni dan Bu Reni memberi masukannya. Kami juga memberi tahu bahwa besok kami harus mulai script reading, percobaan pengambilan gambar, dan percobaan editing sehingga butuh mengambil waktu belajar lagi.

Keesokan harinya, kami mengikuti pelajaran pertama dulu, yaitu penjas yang kebetulan hanya tes lari pada saat itu. Setelah tes, aku, Soka, dan Ocal langsung berganti baju dan menuju ke TRRC. Karena nantinya TRRC akan dipakai untuk rapat, kami pun pindah ke kelas XII IPS 1. Kelas 12 juga sudah tidak ada kegiatan belajar mengajar sehingga kelasnya kosong. Kami mulai script reading. Menuliskan gambaran tentang adegannya, shoot dari angle mana, edit dengan filter apa, dan sebagainya. Tidak lupa menulis peralatan dan perlengkapan yang harus dibawa untuk syuting. Ocal dan Soka juga mulai mencoba mengedit video dengan video kucing yang sudah Soka ambil. Mengatur saturation, filter, oh, tugasku menulis skenario, ya.

Tidak hanya menjadi penulis skenario, aku juga menjadi pemeran utama dalam film ini dengan nama tokoh Gia. Soka menjadi pemeran pembantu, Tan. Ocal pun juga ikut berakting menjadi pak guru. Adegan Ocal di-shoot oleh Soka. Begitu pula sebaliknya, adegan Soka di-shoot oleh Ocal.

Hari perlombaan pun tiba. Kami memakai batik Labschool di hari Rabu. Kebetulan, hari itu sekolah libur karena kelas 12 sedang acara wisuda. Tetapi tidak ada libur bagi kami yang akan mengikuti lomba. Hahaha. Paginya aku meng-print lampiran yang harus diserahkan ke juri, berisi identitas peserta, sinopsis, naskah, nama pemeran, dan kru. Sebenarnya sudah aku print di rumah. Sayangnya, lambang DKI Jakarta yang harus terpampang di halaman pertama itu tidak berwarna karena tinta printer warnaku habis.

Kami berangkat juga tidak bersama guru karena guru-guru sedang menghadiri wisuda kelas 12. Dengan ditemani guru PPG, kami berangkat dengan Uber. SMA Labschool Jakarta berpartisipasi dalam enam cabang lomba. Film pendek, vokal, poster, kriya, membaca puisi, dan menulis puisi. Untuk vokal, poster, dan kriya, ada masing-masing satu perwakilan perempuan dan laki-laki.

SMAN 36 Jakarta memang tidak terlalu jauh dari sekolah kami. Sesampainya disana, kami registrasi ulang dan menunggu pembukaan. Aku mulai was-was melihat siswa-siswi yang mondar-mandir membawa peralatan yang sepertinya digunakan untuk lomba film pendek. Soka dan Ocal membawa kamera lengkap dengan tripodnya. Namun, ternyata ada pula yang membawa kamera yang biasa kita lihat untuk liputan-liputan di televisi. Bu Ina, guru seni rupa, juga sudah mengingatkan untuk tidak terlalu berharap, yang penting melakukan yang terbaik meski dengan waktu persiapan yang tidak banyak.

Setiap cabang perlombaan dialokasikan ke berbagai kelas. Untuk film pendek, kelasnya bertempat di pojok, dekat taman belakang sekolah. Juri masuk dan membacakan ketentuan-ketentuan lomba. Ada sekolah yang membawa siswa-siswi lain selain tiga orang yang ikut lomba, untuk menjadi pemeran. Sayangnya, mereka tidak diperbolehkan untuk menggunakan lebih dari tiga orang dalam produksi film tersebut. Aku, Soka, dan Ocal yang mulai deg-degan hanya bisa berdoa sebelum lomba akhirnya dimulai pukul sembilan. Kami punya waktu enam jam sebelum waktu pengumpulan, yaitu pukul tiga sore. Target kami, tiga jam untuk syuting dan tiga jam untuk editing.

Adegan pertama adalah syuting Gia di bawah pohon. Karena filmnya maksimal berdurasi lima menit, kami mencoba membuat sesederhana mungkin dan hanya menggunakan dua lokasi syuting, yaitu di bawah pohon dan di dalam kelas. Setelah sekali take, aku berdiri untuk mengecek hasilnya, namun ketika meraba rokku, terdapat cairan lengket entah dari mana asalnya. Aku melihat ke tempat aku duduk dan menemukan getah pohon di sana. Sembari menunggu Soka dan Ocal berdiskusi mengenai angle dan yang lainnya, aku meminta izin untuk ke kamar mandi. Mencoba menghilangkan cairan itu, namun tidak bisa. Untungnya, aku membawa baju ganti yaitu seragam putih abu-abu, barangkali akan syuting dengan seragam itu. Aku pun mengganti rokku dan waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh.

Ada adegan dimana aku menyenderkan kepalaku ke batang pohon. Ketika aku duduk di sisi yang berbeda dari tempat aku terkena getah pohon tadi, giliran rambutku yang terkena cairan lengket tersebut. Aku menghela napas. Belum apa-apa sudah sial, haha. Tetapi, pada akhirnya adegan di bawah pohon selesai dan kami masih punya waktu untuk syuting adegan di dalam kelas.

Untuk adegan kelas, kami memakai kelas yang memang dikhususkan untuk film pendek. Jaga-jaga tidak ada spidol, kami membawa spidol dari sekolah untuk menulis di papan tulis, seperti yang ada di dalam skenarionya. Ocal juga bertransformasi menjadi guru matematika. Agar totalitas, kami bahkan membawa kertas jawaban ulangan dari sekolah. Saatnya aku dan Soka beradu akting. Untungnya, film kami minim dialog dan rata-rata menggunakan voiceover, sehingga bukan menjadi masalah besar jika ada yang syuting satu ruangan dengan kami. Oh iya, di dalam ruangan juga terlihat OSIS dan MPK mengenakan jas yang mengawasi berlangsungnya acara.

Waktu menunjukkan pukul 12 dan terlihat seorang guru membawakan KFC untuk murid-muridnya yang sedang syuting. Kami pun membujuk para PPG yang ikut bersama kami untuk membelikan makanan yang sama. Akhirnya kami dipesankan McDonald untuk makan siang. Proses editing dimulai. Soka menjadi editor utama. Ocal bertugas menambahkan jika ada yang kurang. Sementara aku merapikan lampiran untuk diserahkan sembari membantu Soka memilih efek dan musik yang cocok dan ditemani snack yang dibawa Ocal dan Soka dari rumah.

Sekitar pukul setengah dua siang, anak-anak Labschool yang mengikuti lomba lain mulai berdatangan, mengambil makan, dan sekedar beristirahat karena lomba mereka telah selesai. Mereka juga menonton hasil karya kami sebelum kami serahkan. Kak Rasydan, yang ikut lomba vokal pria, menemukan kesalahan dalam penulisan FLS2N yang kami tulis menjadi FLSN karena terburu-buru. Padahal sebentar lagi pukul tiga dan kami sudah meng-extract file-nya menjadi .mp4 seperti di ketentuan. Sehingga dengan waktu yang kurang dari 15 menit lagi, kami harus mengedit dan meng-extract ulang videonya. Untungnya kami mengumpulkan tepat waktu dan merasa lega. Tinggal berdoa dan menunggu pengumuman.

Kami menunggu di kelas lain karena ruangan yang kami pakai untuk film pendek akan dipakai untuk penilaian juri. Setelah mengobrol-ngobrol, kami pun pindah ke aula tempat dilaksanakan pembukaan, menunggu pengumuman. Dua orang izin pulang duluan karena sudah dijemput, tersisa sembilan orang berbatik marun Labschool duduk berjejer ditemani tiga guru PPG.

Pengumuman dibacakan sekitar pukul empat. Pengumuman film pendek dibacakan terakhir karena masih dalam proses penilaian. Pengumuman pertama adalah pengumuman lomba baca puisi. Meskipun aku bukan peserta, aku juga ikut deg-degan. Juri membacakan, “Juara harapan 3 ...”. Spontan aku menoleh ke Soka dan berkata, “Oh, masih ada harapan.” yang bisa berarti dua, ada juara harapan, dan ada harapan untuk kami maju ke depan. Hahaha.

Perwakilan sekolah, Beby memang sudah dari SMP mempunyai bakat membaca puisi. Benar saja, Beby mendapatkan juara 2. Setelah itu, pengumuman lomba-lomba lain dibacakan. Satu persatu anak Labschool maju dan menerima piagam dan piala. Kak Rinda juara harapan 1 menulis puisi. Kak Luthfia juara harapan 3 lomba poster wanita. Kak Rasydan juara 1 vokal pria. Diva juara harapan 3 lomba kriya wanita. Aca juara 3 lomba vokal wanita. Tersisa satu lomba lagi dan kursi-kursi di antara aku, Soka, dan Ocal sudah kosong karena semuanya maju ke depan. Tersisa kami bertiga.

Pengumuman pemenang film pendek akhirnya dibacakan. Mulai dari juara harapan 3 hingga juara 2, nomor peserta kami tak kunjung disebutkan. Kami peserta nomor 7, lucky seven. Haha. Tiba saatnya juara pertama disebutkan. “Nomor peserta ... TUJUH!”. Aku langsung berdiri dan bersorak, begitu pula Soka dan Ocal.

Ketika sekolah lain hanya perwakilan satu orang yang maju, kami langsung maju bertiga ke panggung. Menerima piala bertuliskan Juara 1 Film Pendek. Ah, perjuangan tiga hari ini tidak sia-sia. Meskipun tertinggal pelajaran dua hari, aku masih bersyukur bisa membawa pulang piala di hari libur ini.

Setelah pengumuman selesai, kami semua berfoto bersama dengan piala dan piagam kami. Ini adalah tahun pertama SMA Labschool Jakarta ikut serta dalam lomba film pendek di FLS2N. Para peserta juara 1 dan 2 nantinya akan mewakili Jakarta Timur wilayah 1 untuk maju ke tingkat provinsi DKI Jakarta.

Teman-teman, mohon doa dan dukungannya, ya! ^_^


Foto-foto lengkapnya ada di Facebook-ku:
https://www.facebook.com/muthia.fadhila/media_set?set=a.1027999300628684&type=3&pnref=story


Labs Film Festival (LFF) 2016


Pada 30 April lalu, di sekolahku, SMA Labschool Jakarta, diadakan malam penganugerahan Labs Film Festival. Labs Film Festival adalah acara tahunan SMA Labschool Jakarta dimana setiap kelas membuat film pendek yang diunggah ke YouTube dan dilombakan. Kelasku, dengan film pendek kami yang bertajuk "TITIK KOMA" berhasil membawa pulang 5 piala dari total 7 nominasi. Mulai dari Vianka sebagai Best Supporting Actress, Best Costume and Make Up yang disponsori oleh online shop Riva, Best Cinematoraphy hasil tangan-tangan emas Ocal, Best Script yang bahkan aku tidak menyangka berhasil mendapatkannya setelah bekerja sama dengan Baba, juga film kami sebagai Runner Up Labs Film Festival 2016. Selain itu, kami mendapat nominasi Best Editing dan Best Director.

Winner Labs Film Festival 2016 adalah film "1991" dari kelas X IPS 1 dan "Soul Changes" karya X IPA 5 sebagai 2nd Runner Up-nya. Meskipun begitu, Alhamdulillah kelasku berhasil membawa pulang piala paling banyak. Perjuangan kami mulai dari menggarap ide hingga editing tidak sia-sia.
Oh ya, Labs Film Festival ini mempunyai tim juri yang diketuai oleh Bapak Aryo Danusiri, yang merupakan sutradara film nasional. Beliau sangan support dengan kegiatan LFF ini.

Acara Labs Film Festival memang sudah diumumkan sejak Desember tahun lalu. Kami diberi waktu hingga pertengahan Februari untuk mengumpulkan film pendeknya. Bahkan, aku dan Ainul sudah mulai bertukar inspirasi semenjak liburan kami bersama Vabio dan Aliya ke Yogyakarta. Duh, tapi namanya anak SMA sekarang, ya, kelihatannya sibuk banget. Merumuskan ide yang fix aja akhirnya molor sampai awal Februari. Hahaha.

Berbagai meeting diadakan. Mulai di sekolah, di rumah Fatia, sampai sambil bersantai di Fat Bubble. Aku dan Baba, yang ditugaskan menjadi penulis skenario pun mulai membagi tugas akan menulis adegan-adegan mana sebelum endingnya ditentukan, karena skenario ini juga hasil sumbangan pemikiran teman-teman yang ikut berpartisipasi, bukan hanya buah pikir seorang atau dua.

Pada saat itu, kebetulan aku terpilih menjadi salah satu finalis Lomba Menulis Surat "GENERASIKU MELAWAN KORUPSI" yang diadakan oleh KPK dan PT Pos Indonesia. Ceritanya bisa dibaca di link ini: Cerita dari Winner Camp LMS Pos Indonesia 2016.

Jadi, selain harus menulis skenario, aku juga harus mempersiapkan diriku untuk mengikuti final lomba tersebut. Karena deadline yang makin kesini makin dekat dan kami juga belum menentukan akhir dari ceritanya, aku dan Baba menyelesaikan skenario pada malam sebelum syuting. Itupun baru selesai setengahnya.

Selama aku mengikuti Winner Camp Lomba Menulis Surat di Bandung, teman-teman sudah mulai proses syuting adegan-adegan yang sudah jadi dalam skrip. Seperti adegan di sekolah dan di cafe. Untuk adegan cafenya, kami syuting di sebuah kafe di daerah Gading. Zafira dan Dean sebagai produser lah yang bertanggung jawab urusan perizinan. Setelah syuting di kafe, teman-teman melanjutkan syuting adegan toilet dan kelas di sekolah. Avi, bagian dari kelas kami yang pada awal semester kedua pindah sekolah juga menyempatkan diri untuk menjadi cameo sebagai teman dari Daffa yang berperan sebagai Dikka.

Sepulangnya dari Winner Camp Lomba Menulis Surat di Bandung, aku langsung bergegas untuk mengikuti les Bahasa Perancis di daerah Menteng. Aku tidak mau bolos selama masih bisa mengikutinya. Alhamdulillah perjalanan Bandung-Jakarta lancar, sehingga aku tidak terlambat les Bahasa Perancis. Kebetulan juga, aku sekelas dengan Ainul yang merupakan sutradara Titik Koma. Sepulang dari tempat les, aku dan Ainul menumpang mobil Khalya, teman sekelas kami di sekolah maupun tempat les, untuk mengantarkan kami ke Perpustakaan Nasional di Salemba. Aku dan Ainul akan melakukan survei tempat syuting.

Karena selama ini aku hanya bisa memandangi gedung Perpusnas dari luar, muncul ekspektasi-ekspektasi akan banyak hal yang akan aku temui di dalamnya. Membayangkan bahwa perpustakaan itu seperti perpustakaan di film-film, dengan rak-rak kayu, tempat membaca yang tenang, serta harum buku-buku koleksinya. Kemudian, ekspektasi itu hancur berkeping-keping di kepalaku ketika aku dan Ainul menginjakkan kaki di dalam. Hahaha.

Ternyata, oh, ternyata, di Perpusnas, pengunjung tidak dipersilakan untuk mencari dan mengambil buku yang ingin dibaca secara langsung, melainkan mencari referensi buku yang ingin dibaca, kemudian menyerahkannya kepada petugas perpustakaan untuk kemudian bukunya dicari. Ruangan berisi buku-bukunya tidak boleh sembarang dimasuki tanpa izin.

Aku dan Ainul menjelajah mulai dari lantai 1 hingga lantai 8. Di lantai 1, sebelum naik ke lantai sebelumnya, para pengunjung harus membuat kartu perpustakaan. Kami mengisi formulir online, kemudian langsung berfoto dan dicetak kartunya. Kartu itu digunakan untuk masuk ke daerah perpustakaan. Ditempelkan ke mesin seperti yang biasa dilihat di halte-halte Transjakarta. Di lantai 2, ada tempat untuk para pengunjung mencari referensi buku-buku yang ingin dibaca. Sementara dari lantai 3 hingga 8, ada ruang baca dengan topik yang berbeda-beda. Saat aku dan Ainul masuk, rata-rata pengunjungnya adalah anak kuliah yang sedang mengerjakan tugas. Mereka membaca sambil membuka laptop di ruang baca.

Setelah melihat-lihat Perpusnas, kami berjalan kaki ke Gramedia Matraman yang letaknya tidak terlalu jauh dari sana. Kami melanjutkan proses pembuatan skenario sambil ngemil di Dunkin Donuts Gramedia Matraman. Aku dan Ainul membuat skenario sambil kontak-kontakan dengan Ocal, kameramen dan editor. Agar mempermudah, kami memutuskan untuk bekerja di rumah Ocal yang masih terletak di daerah Rawamangun. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, kami akhirnya naik bajaj. Tapi, sebelum itu, aku menemani Ainul makan mi ayam di depan Gramedia karena dia hanya membeli minuman di Dunkin. Padahal, waktu itu langit sudah mulai terlihat jingga dengan semburat ungu.

Aku dan Ainul brainstorming di rumah Ocal. Sampai saat itu, kami masih belum menemukan ending yang tepat. Berbagai scenario muncul di pikiranku. Ainul juga sudah sibuk corat-coret di buku catatannya. Sampai akhirnya kami sepakat untuk menambah adegan Dikka dan cita-citanya menjadi bos di perusahaan besar sebagai penghubung ide teman-teman yang lain.

Malamnya, aku dan Baba langsung menyelesaikan skenario. Aku dan Ainul juga sibuk menghubungi beberapa anak laki-laki di kelas karena adanya tambahan peran. Kami janjian untuk kumpul di sekolah pukul 7 besok paginya. Karena saat itu SMA sudah selesai UTS dan tidak ada sesi belajar intensif, sementara SMP sedang melaksanakan UTS, sekolah bisa dibilang cukup sepi. Sebelum ke sekolah, aku dan Baba meng-print dan memfotokopi skenario untuk dibagikan pada semua pemain dan kru. Meski sudah dibilang dating pukul 7, budaya molor rupanya masih ada di antara kami. Ada yang dating pukul 9, pukul 10. Dan kami pun baru memulai syuting adegan di kantin sekitar pukul setengah 11.

Selesai syuting adegan kantin, kami beristirahat sebentar sambil mengisi diari yang dijadikan diari Dara di film. Niatnya, sih, setelah itu langsung syuting di lobby sekolah. Tapi kami terlambat. Anak-anak SMP sudah berhamburan keluar sehingga lobby terlalu padat untuk dijadikan tempat syuting. Kami pun pindah ke gedung sebelah, gedung Grapari, dan melakukan syuting adegan Dikka, Laras, bersama ayahnya Laras disana. Dio, yang awalnya gabut dan tidak ikut campur dalam urusan film pun ditunjuk menjadi supir ayahnya Laras yang diperankan oleh Gibgib. Untuk mobil, kami pinjam mobil Tyrone, anak kelas X IPS 1. Iseng-iseng, aku dan Ainul numpang lewat dalam adegan itu. Hihi.

Setelah syuting adegan tersebut, kami kembali ke sekolah dan mengambil ruang putih di sekolah. Kami menyebutnya ruang putih, aku bahkan lupa nama ruangan itu. Yang jelas, ruangan itu digunakan untuk belajar, guru-guru memasukkan nilai, pokoknya serbaguna, deh! Aku ikut menjadi salah satu cameo adegan ini, sebagai pegawai perusahaan Dikka. Ya, adegan ini adalah adegan Dikka yang dilantik menjadi direktur perusahaan ayahnya Laras. Selain aku, ada Zafira, Baba, Dikka, dan Tyrone yang menjadi pegawai.

Perjalanan syuting hari itu masih panjang. Kami berniat menuntaskan semuanya hari itu, mengingat deadline yang tinggal sehari lagi. Lokasi selanjutnya adalah Perpusnas. Bagian perizinan kami (Yay, Japir!) berhasil meminta izin untuk meminjam tempat rak-rak buku untuk syuting. Kali ini, aku juga muncul sebagai ibu perpustakaan setelah Ainul bujuk semenjak kami menulis scenario di rumah Ocal. Aku menguncir rambut, memakai kacamata, dan cardigan cokelat muda. Satu hal yang aku ingat dari syuting di Perpusnas adalah, aku dikira petugas perpustakaan beneran oleh beberapa pengunjung. Mereka menyerahkan kertas kecil berisi buku yang ingin dipinjam. Aku hanya bisa tertawa kecil dan menunjuk ke petugas perpustakaan yang asli. Teman-teman di ruangan itu juga hanya tertawa kecil.

Karena sudah hampir setengah 4 sore dan kami semua belum makan siang, kami makan di tempat makan yang ada di seberang Perpusnas. Kami itu Daffa, Vianka, dan Firyal sebagai pemeran, aku, Ainul, Zafira, Dean, Ocal, dan Baba sebagai kru. Tyrone juga ikut.

Mataku bolak-balik menatap menu dan isi dompet. Beralasan ke toilet, aku, Dean, Ainul, dan Daffa keluar dari tempat itu dan malah memesan mi ayam 10 ribuan. Hahaha. Setelah itu, kami kembali ke tempat yang lain makan. Sisa tiga adegan. Adegan Dikka berkaca sembari merapikan jasnya di toilet, Dikka menulis surat untuk Dara di ruang kerja, dan adegan Dikka dan Laras pulang dari kafe. Tadinya, adegan toilet mau dilakukan ketika kami kembali ke sekolah. Tetapi, ketika melihat bahwa toilet di tempat makan punya lighting yang bagus, mengapa tidak? Adegan Dikka dan Laras juga seharusnya dilakukan pada saat syuting di kafe, namun, saat itu kami bahkan belum menemukan endingnya sehingga adegannya dilakukan di parkiran sekolah.

Kami kembali ke sekolah menjelang maghrib. Tersisa aku, Ainul, Ocal, Daffa, Vianka, dan Zafira. Jalanan kembali ke sekolah juga mulai padat dengan mobil-mobil orang pulang kantor. Kami memulai syuting lagi setelah maghrib untuk adegan Dikka menulis surat untuk Dara. Adegan itu juga pada akhirnya dilakukan di meja piket sekolah. Tempatnya terbuka. Zafira ikut berakting menjadi sekretaris Dikka.

Sudah hampir pukul 8 malam dan kami akhirnya sampai di adegan terakhir, adegan di luar kafe, di mobil Dikka. Ada satu adegan dimana Dikka time-lapse menunggu Laras yang tak kunjung balik ke mobil setelah berniat mengambil dompetnya yang tertinggal. Adegan itu akhirnya di-shoot menggunakan iPhone. Untuk membangun suasana, diputar lagu Bimbang, OST AADC 1. Tinggal adegan itu, ternyata Daffa mengalami kesulitan memutar lagunya karena lagunya otomatis terganti menjadi lagu lain. Setelah beberapa kali percobaan, kami meninggalkan Daffa sendiri di mobil untuk menyelesaikan adegannya.

Menuju pukul 8 malam, syuting akhirnya di wrap up. Eits, tapi perjuangan kami tidak sampai disitu. Masih ada proses editing yang membutuhkan waktu tidak sedikit. Bagian editing kami serahkan ke Ocal yang memang sudah terbiasa mengedit untuk video-videonya di YouTube. Alhamdulillah, hasil kerja keras kami syuting hanya 3 hari tidak sia-sia. 5 penghargaan itu merupakan sebuah kebanggan untuk kelas kami, X IPS 2.

Ini adalah pengalaman pertamaku menulis scenario untuk film pendek. Mengikuti prosesnya dari awal sampai akhir. I learned new things from it. Props to all casts and crews for working hard. They said hard work won’t betray, and it’s true!

p.s:
Titik Koma sudah dilihat 6000 kali. Terima kasih, semua!
Bagi yang belum nonton bisa langsung meluncur ke link ini https://youtu.be/RHdRf80ArKY.
Kritik, saran, dan masukan sangat diperbolehkan, kok!


Foto-foto lengkapnya ada di Facebook-ku:
https://www.facebook.com/muthia.fadhila/media_set?set=a.1027947910633823&type=3&pnref=story