Sunday, May 28, 2017

Thia's Journey in the US: It's New York!

Dream big, People. Dream big. Aku juga nggak kebayang sebelumnya. Anak rumahan yang ke mall aja jarang, tiba-tiba bisa ngeliat Patung Liberty? Bisa mejeng di Times Square? At the age of 16? Who would have thought? Selama aku di US, here’s what I thought the most, “Consider this a blessing. Nggak semua anak umur 16 tahun pernah menginjakkan kaki di negara adikuasa ini,”. What I did was, I tried to cherish every moment and make the most out of it.

DAY 1
After a long flight, akhirnya sampai juga kami di John F. Kennedy International Airport, New York. Setelah melalui beberapa pengecekan, kami keluar dari bandara, disambut dengan udara dingin. It wasn’t snowing that day. Beberapa dari kami “sok-sokan” ingin “mengetes” seberapa dingin udara di New York dengan tidak memakai coat ketika menyebrang dari luar bandara menuju bis.

Ya, sudah ada bis putih yang menyambut kami dan akan mengantarkan kami selama 14 hari ke depan, ditemani dengan dua orang, Uncle Andy as the bus driver, dan Kak Doni sebagai pemandu. Tujuan pertama kami adalah sebuah restoran Tiongkok untuk mengisi energi kami. Santapan pertama masih yang lidah Asia dulu, lah …. Hahaha

Jepretan sebelum sibuk dengan gadget masing-masing

Restoran tersebut terletak di lantai atas, dimana ketika kami memasukinya, bunyi dentuman piring terdengar di tiap penjuru restoran. Para pelayan gesit mengantarkan pesanan ke meja masing-masing. Alhamdulillah, kami akhirnya mendapat akses wifi. Ya, semenjak dari bandara, belum ada yang bisa menghubungi keluarga di Indonesia karena kendala sinyal. Kami pun berencana ingin membeli kartu seluler lokal karena tarifnya lebih terjangkau daripada roaming. Serentak, tiap meja saling memberi tahu password wifi dan sibuk dengan ponsel mereka masing-masing.

Aku sendiri langsung menelepon mamaku. Meski itu adalah jam makan siang di New York, ada 12 jam perbedaan dengan Jakarta. It was almost midnight. Aku juga mengabari beberapa temanku. Sampai akhirnya makanan datang dan kami sibuk makan sambil sesekali melirik ponsel.

Setelah mengisi perut, kami menuju ke Manhattan Bridge, salah satu jembatan di New York yang dapat dilewati oleh pejalan kaki. Meski itu tengah hari, banyak warga yang berolahraga seperti bersepeda atau jogging. Sementara para wisatawan asik memotret keindahan view dari jembatan. Kami juga dapat melihat Brooklyn Bridge di seberang, salah satu jembatan tertua di US

Group pic in Manhattan Bridge

Puas berfoto di destinasi pertama, bis putih bertuliskan Mr. BMJ tersebut membawa kami menuju tempat kapal feri yang dapat mengantar kami ke Pulau Liberty. It is only the first day and we’re visiting the liberty!? Itulah yang terbesit dalam pikiranku ketika kami dibagikan tiket untuk menaiki kapal feri ke Liberty Island. Sebelumnya, ada pengecekan barang-barang yang kami bawa. And we experienced it in almost every destination in the next 14 days.

Most of us naik ke top deck untuk berfoto dengan latar belakang Manhattan skyline. And honestly I never thought I would see the Liberty up close this soon in my life. Sudah asik berfoto dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit, tiba-tiba patung Liberty sudah dapat dilihat dari dekat.

This one looks decent

Kami turun dari kapal dan diberi waktu bebas untuk berkeliling selama kurang lebih satu jam. Foto-foto is a must. Meski udara dingin dan cukup membuatku menggigil, aku tetap menikmati hariku di sana.

Usai berkeliling, kami kembali menaiki feri ke Manhattan. Sebelumnya, feri sempat berhenti di Ellis Island, pulau yang dulu merupakan pusat pengurusan imigrasi. Teman-teman juga bercerita bahwa topik Ellis Island pernah dijadikan wacana dalam tugas Bahasa Inggris.

Setibanya kami di Manhattan, kami melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya, yaitu Wall Street. Bukan, bukan tempat kursus. Hihihi. Wall Street adalah nama daerah yang menjadi pusat perdagangan bursa saham dan perdagangan lainnya. Setiap minggu, akan ada tokoh dunia yang memukul gong tanda dimulainya perdagangan dunia.

Sama palang Wall Street. Hehe.

Langit mulai kelam dan diselimuti awan kelabu. Kami berjalan menyusuri tepi jalan dimana warga New York dengan gesit berlalu-lalang. Di tengah perjalanan, aku juga melihat Trinity Church, salah satu landmark di NYC. We stayed for a good 5 minutes in Wall Street, since the sky’s getting darker and rain starts falling.

Dari Wall Street menuju bis, kami sempat berhenti sejenak di September 11 National Memorial, sebuah air terjun buatan di lokasi tempat dulu gedung World Trade Center berdiri. Diiringi suasana langit yang kelam, rintik hujan mulai berjatuhan, dan derasnya air yang jatuh, aku melihat satu persatu nama korban yang tertera di sekeliling memorial.

9/11 Memorial

Setelah cukup lama berjalan kaki, kami pun sampai di bis dan kembali disambut oleh Uncle Andy. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 5 sore, kami menuju restoran untuk makan malam. Ternyata, restoran tersebut menyediakan makanan Indonesia. Ya, namanya juga baru hari pertama. Kami disuguhi soto, sate, and some other Indonesian cuisine. Though it’s not as good as what we usually have, karena Indonesia terkenal dengan ribuan bumbunya.

Bis melaju menuju hotel sembari mencari toko seluler yang menjual kartu perdana lokal. Beberapa toko sudah dicek, namun tidak ada yang memiliki stok untuk 31 orang. Hingga akhirnya, ada salah satu toko AT&T Mobile yang menyediakan kartu berisi paket data untuk sebulan. Kami mengantri di toko tersebut untuk membeli dan memasang sim card baru.

Kami sampai di hotel sekitar pukul 7. Hampton Inn Manhattan Times Square North. Yep, that’s where we’re staying for 3 nights. Aku sekamar dengan Aca dan Padma, yang merupakan teman sekelasku, juga Miss Nuniek. Just as I opened my luggage, tiba-tiba Aca dan Padma berencana untuk jalan-jalan sendiri, mengingat saat itu belum terlalu larut. Aku yang berniat mengganti pakaian pun langsung menutup koper dan menyambar coat-ku yang sudah digantung. Di lobi, sudah ada the boys yang bakal ikutan ke Times Square.

Berbekal panduan Google Maps dan Ariqo yang sudah mempelajari New York dari kakaknya, aku, Aca, Padma, Ariqo, Huda, Oliver, Satria, Hanif, dan Edra berjalan kaki ke Times Square. It wasn’t that far from our hotel, but heck I’m freezing. Apalagi tanganku tipe-tipe yang gampang kedinginan. Kena AC kelas aja kukuku sudah berubah warna jadi ungu. Gimana kena suhu winter yang hanya 1 digit? Hahaha.

Flashy animated billboards everywhere, Times Square proves us that New York is undeniably the city that never sleeps. I kept saying, “Whoa …,” as we walked to the center of Times Square. I even thought, “So this is the Times Square I’ve been watching in movies,”. Moreover, we passed by one of the broadway theaters. Holy. Fricking. Broadway!!! Norak, ya? Iya, maklum, ya. But hey, I bet some of you will have the same reaction as me when you visit Times Square.

Happy me is happy

Kami pun terbagi menjadi dua tim, the girls and the boys. The boys went to Foot Locker, I guess? Yea, boys. Sementara aku, Aca, Padma, dan Ariqo masuk ke dalam Disney Store. The store was just full of cute stuffs. Who doesn’t love Disney merchandise? Nope, not me. I feel satisfied even when I’m just looking at it. Di langit-langit escalator-nya, terdapat lampu-lampu yang digantung. It was utterly cute!

Keluar dari Disney Store, kami masuk ke Forever 21 yang kebetulan berada di sebelah. Most of the stuffs are similar to the ones they sell in Indonesia, tho. So there’s that. Setelah itu, we just casually stroll around Times Square.

Ternyata, Fatia, Gabby, David, dan Johan menyusul ke Times Square. Aku dan Ariqo menemui mereka, sementara Aca dan Padma menemui the boys. Di tengah-tengah Times Square, terdapat banyak badut, yang ternyata jika kami diminta oleh badut itu untuk berfoto dengan mereka, kami harus bayar. So, yeah, be careful of clowns when you visit Times Square! 

We also saw a couple (perhaps?) bickering (and even fighting). All those screams, bad words, the fight, we saw it. And that made me realize I’m currently in the US.

Sebelum kembali ke hotel, kami menyempatkan diri membeli pop cakes untuk Hanni dan Diedra yang berulang tahun keesokan harinya, tanggal 23 Januari. Oliver dan Huda kembali ke hotel duluan karena Huda mimisan (as I remember, he doesn’t wear coat?). Oh ya, funny thing is that ada anak HMUN yang ulang tahunnya tanggal 21, 22, dan 23. 21 Januari, saat berangkat, adalah ulang tahun Oliver. 22 Januari, ketika kami di Dubai dan sampai di US, adalah ulang tahun Yega dan Edra (yea, they celebrated their birthday twice), dan tanggal 23-nya adalah Diedra dan Hanni. Happy belated bday, y’all. LOL.

And … the adventure didn’t stop there. Ketika the boys udah ngacir duluan ke hotel, the girls decided to go for a pizza … at night. Di sini mah puas-puasin aja dulu, dietnya baru di Indonesia. Hihihi. Sebetulnya ada pizza di dekat hotel, but we didn’t know whether it’s still open since it’s almost 10 PM. So we stopped by at Famous Amadeus Pizza. By the time I wrote this my mouth is already watering. Unfortunately, the “big slices” sisa dua, if I were not mistaken, Aca dan Ariqo lah yang memakan potongan besar tersebut. Y’know, the typical NYC pizza, thin yet the size is twice as big as the ones in Indonesia. The rest of us, aku, Gabby, Fatia, dan Padma memesan “small slices” which turns out bigger than what we expected. Are we satisfied? Definitely.

Kami kembali ke hotel, realizing that restoran pizza yang tadi kami perdebatkan ternyata masih buka. Hahaha. But we’ll save that for tomorrow.

DAY 2 
Pagi-pagi, sekitar pukul 7, kami sudah berkumpul di lobi hotel mengenakan batik Labschool. Hari itu kami mengunjungi United Nations Headquarters dan Perwakilan Tetap Republik Indonesia. I didn’t bring any long john just like my friends, sehingga aku hanya mengenakan satu lapis pakaian dibalik coat-ku. Untungnya badanku cukup tahan dingin, hanya saja telapak tanganku tidak kuat. Hihihi.

Bis Uncle Andy sudah menunggu di depan hotel. I had fun looking at the view. Gedung-gedung pencakar langit di sisi kanan dan kiri, lalu lintas yang tidak terlalu padat because New Yorkers prefer walking or taking the subway. Oh, and one thing that caught my attention is, di gedung-gedung tersebut, mereka mengibarkan bendera Amerika Serikat. Shows what we call nationalism.

Perjalanan ke Kantor PBB tidak terlalu lama, mungkin sekitar 15 menit. Kami langsung turun dari bis, berfoto-foto sembari menunggu Kak Doni mengambilkan kami tiket masuk. We’re here for a tour.

Di depan United Nations Headquarters

Sebelum masuk, dilakukan pengecekan barang di sebuah ruangan tertutup. Ketika keluar dari ruangan tersebut, kami harus berjalan lagi untuk masuk ke gedung utama. Terdapat patung-patung di halaman kantor. Ada patung bola dunia, dan sebagainya, yang merupakan hadiah dari berbagai negara. Aku meminta tolong salah seorang teman (was it Diedra? I forgot) untuk memotretku di depan salah satu patung. But suddenly, the wind blows, strongly. To the point aku juga tertahan untuk menerjang angin dan masuk ke gedung. Teman-teman yang tadinya juga masih ingin berfoto-foto, langsung berlarian masuk.

Kami menunggu giliran tur sambil melihat-lihat lukisan yang terpajang di ruangan. Ada tentang perang, kemanusiaan, dan sebagainya. Karena jumlah kami terlalu banyak, kami dibagi dalam 2 kloter. Aku masuk kloter kedua dengan pemandu yang berasal dari Korea. She’s pretty and nice!

Tur kami dimulai dengan perkenalan tentang PBB, latar belakang terbentuknya, and other general stuffs you might find on books or internet. Tujuan pertama kami adalah United Nations Security Council Chamber atau Ruang Dewan Keamanan PBB tempat para dewan berkonferensi. I love the fact that the chairs for the delegates are blue. And there are red chairs for the observers. Karena hanya ada 15 negara yang tergabung dalam Dewan Keamanan, ruangannya terlihat jauh lebih leluasa. Setiap dua tahun, ada pergantian 10 negara yang menempati kursi-kursi di Dewan Keamanan, sementara 5 negara lainnya adalah negara permanen yang menang dalam peperangan. Di sisi kanan dan kiri ruangan terdapat ruangan-ruangan kaca tempat para penerjemah berbagai bahasa menerjemahkan konferensi secara langsung, juga untuk para jurnalis meliput. Di sisi depan, terdapat lukisan yang melambangkan perdamaian. Hm …, let me try my best to explain this one. So, basically, below, there are people dying with darker colors. And above, there’s a more sustainable living. The mural shows us that the UNSC is trying to achieve peace for the world.

United Nations Security Council Chamber

After that, we moved to the Trusteeship Council Chamber. Ada yang sudah pernah mendengar nama tersebut, sebelumnya? Dewan Perwalian, atau Trusteeship Council memang sudah tidak aktif semenjak tahun 1994. Tugasnya adalah untuk melakukan perwalian terhadap daerah-daerah yang diawasi oleh PBB. Kami tidak memasuki ruangannya, hanya melihat dari pintu.

Kami langsung menuju United Nations Economic and Social Council Chamber. What makes these chambers unique is that they have their own characteristics. Kalau tadi ada ruang UNSC yang memiliki mural tentang mencapai perdamaian, ruang ECOSOC memiliki nuansa orange. Yang menarik adalah, arsitektur ruangan tersebut sengaja membiarkan langit-langit di bagian belakang ruangan tersebut seperti pekerjaan yang “tidak selesai”, sementara bagian depannya sudah tampak megah. This shows that our world is developing for a better future. Sama seperti ruangan konferensi PBB yang lain, terdapat ruang kaca di sisi kanan dan kiri untuk penerjemah dan jurnalis.

United Nations Economic and Social Council Chamber (see the difference in the ceiling?)

Ruangan ketiga yang kami kunjungi adalah United Nations General Assembly Hall, yang mungkin paling familiar di antara ruangan lainnya karena paling sering muncul di media. Yap, ruangan besar bernuansa keemasan inilah tempat dimana para pemimpin dunia berkonferensi. Perwakilan 193 negara tersebut duduk sesuai abjad. Namun, abjad A tidak terus menurus duduk paling pojok depan. Terkadang, misal, abjad N duduk paling awal, dan yang lainnya mengikuti. Di sisi depan, terdapat dua layar besar dan satu logo PBB berwarna emas, serta podium. Di belakang para perwakilan negara, terdapat kursi-kursi untuk perwakilan dewan PBB lainnya. Pada sisi kiri dan kanan bagian belakang, terdapat mural abstrak yang melambangkan unity in diversity.

United Nations General Assembly Hall

Di sela-sela tur, kami diperlihatkan mural-mural lainnya yang terdapat di sekitar kantor pusat PBB. Ada juga landmines yang banyak dipakai di negara-negara konflik, sisa-sisa bom Hiroshima dan Nagasaki, juga beberapa benda lain seperti alat-alat perang.

Salah satu mural di United Nations Headquarters
Macam-macam landmines

After finishing the tour, I thanked the guide in Korean and told her that I’m currently learning the language. She answered me and said that my pronunciation is good. Ahaha, why, thank you. Kami masih ada waktu di PBB sebelum beranjak ke tempat lain. Aku memutuskan untuk membeli pin berlogo PBB yang pada akhirnya kusematkan di jas OSIS-ku

With the guide!

Oh, meskipun terletak di New York, kompleks United Nations Headquarters ini adalah teritorial khusus yang dimiliki oleh 193 negara. Kak Doni berkata bahwa kami bisa mendapatkan stempel khusus di paspor kami dari PBB. Unfortunately, the service doesn’t exist anymore. Selain pin, aku juga membeli perangko peringatan World Poetry Day tahun 2015. Lumayan untuk koleksi. Hihihi.

Destinasi selanjutnya adalah Perwakilan Tetap Republik Indonesia, atau Permanent Mission of Republic of Indonesia to the United Nations. Bukan, PTRI bukanlah duta besar, melainkan perwakilan Indonesia untuk PBB. Orang-orang PTRI inilah yang ikut serta mewakili Indonesia dalam konferensi-konferensi di PBB. Kantornya pun tak jauh dari kantor pusat PBB, jalan kaki juga sampai

Di PTRI

Kami disambut oleh first secretary PTRI, Ibu Indah. Juga deputy permanent representative, Ibu Ina. Selain mengetahui lebih lanjut mengenai struktur dan tugas PTRI, kami melakukan dialog interaktif yang merujuk kepada persiapan untuk Harvard Model United Nations.

... Perpustakaan di PTRI

Ternyata, untuk menjadi duta besar atau perwakilan Indonesia di PBB tidak harus jurusan Hubungan Internasional, lho. Seingatku, Ibu Indah merupakan lulusan sastra Perancis. Mereka bercerita bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang paling ditunggu-tunggu negara lain untuk angkat bicara dalam konferensi.

Mengunjungi PTRI rasanya seperti belajar PKn di luar kelas. Told ya, belajar itu tidak harus terus-terusan duduk mendengarkan materi dari guru. Luckily, kami mendapatkan penjabaran materi dari orang PTRI langsung yang kebetulan berhubungan dengan materi PKn kelas 11, yaitu Hubungan Internasional.

Setelah bincang-bincang seru, kami disuguhi santap siang. Lagi-lagi ketemu sama makanan Indonesia. Yeay! Apalagi makanannya bakso. Wah, asik. Sebelum meninggalkan PTRI, tentunya kami menyempatkan diri untuk foto-foto di depan gedung, meski anginnya sangat kencang. Dan lagi-lagi, sebelum naik ke bis, aku dan beberapa temanku harus menerjang angin kencang yang tiba-tiba berhembus. Hahaha. Rambutku sudah makin nggak karuan saat itu.

See how windy it was!?

Usai mengunjungi PTRI, saatnya belajar hal baru tentang laut, pesawat, dan luar angkasa di Intrepid Sea, Air & Space Museum. Museum ini dapat dibilang cukup unik karena terletak dalam sebuah kapal, yang di bagian atas terdapat jejeran pesawat. Beberapa dari kami berganti menjadi pakaian casual. Kami dipandu tour guide untuk berkeliling melihat museum. Setelah tur, kami diberi makan lagi, kali ini semacam tortilla wraps, in which I didn’t finish since I’m still full. Uniknya, kami harus melewati ruangan dengan I don’t know what but it’s definitely hot untuk sampai ke ruang makan yang berada di bagian bawah kapal.

Us looking so done with the wind

Kami juga diberi waktu bebas untuk berkeliling bagian space. Hujan mulai turun rintik-rintik, angin juga makin lama makin kencang, sehingga I don’t have much photos there, sadly. Sebagai oleh-oleh, aku membeli perangko bernuansa luar angkasa. Well, actually nggak bisa disebut sebagai oleh-oleh juga, tapi untuk koleksi pribadi. Hihihi.

Trying to smile as the wind blows

Sebetulnya, banyak pilihan merchandise. Mulai dari boneka, figur pesawat, gantungan kunci, even bola peramal itu ada. HAHA. But idk those aren’t my things, hence I chose stamps. Aku menunggu Gita dan Padma yang masih sibuk memilih barang untuk dibeli. And I just realized that we were the only one there, yang lain udah nggak ada. Aku, Gita, dan Padma mencari-cari rombongan kami. Bolak-balik dari satu gedung ke gedung lain yang sudah kami lewati, namun hasilnya nihil.

Aku pun akhirnya bertanya kepada salah satu penjaga pintu, and she said, “Your group was there,” menunjuk salah satu bagian yang telah mengarah ke pintu keluar. Wanita itu mengenali pemandu kami, Kak Doni, karena ia selalu memakai topi merah dan backpack. Sebelum keluar, karena sudah tak tahan, aku pun langsung lari ke kamar mandi. Lalu, kami pun bergegas keluar, mencari-cari bis yang ternyata benar sudah ada di depan museum. And, yep, we became the last one to arrive karena terlalu lama memilih oleh-oleh.

Kak Doni mengajak kami ke Kith, salah satu toko sepatu yang tahun lalu juga direkomendasikan oleh kakak kelas kami yang ikut HMUN. I’m not a big fan of shoes. Tapi, akhirnya aku turun dan ikut lihat-lihat. Kith ini selain toko sepatu, mereka juga menjual dessert seperti es krim. Nyesel, sih, nggak nyoba, karena waktu lihat di Instagram kayaknya enak gitu. Haha.

Selain ke Kith, kami juga ke Foot Locker atas permintaan para penggemar sepatu, literally most of us. Aku yang bukan penggemar sepatu pun memutuskan untuk tidur di bis, bersama dua atau tiga orang lainnya yang melakukan hal serupa.

Puas berbelanja di Foot Locker, kami kembali menuju hotel. Hari masih belum terlalu gelap. Kami dapat beristirahat sejenak sebelum makan malam. Makan malam hari kedua dibumbui cita rasa Meksiko. Yep, Chipotle! Restorannya ada di seberang hotel, but I guess all of us are too tired and lazy to go there, sehingga semua makanan di takeaway.

The boys mengajak ke Times Square lagi malam itu. Aku terlalu capek sehingga skip dulu. Tapi tiba-tiba BM cokelat Hershey. Jadi lah aku nitip ke mereka without mentioning the specific type of chocolate. Tapi, syukurnya, they got it right. Hershey’s Cookie Layer Crunch Caramel. Thanks, boys! That one is new and isn’t available yet in Indonesia, though. (special thanks to David yang udah di Line berkali-kali sangking BM-nya HAHA) So I ended up buying more to eat it at home. :p


NEXT: Thia's Journey in the US: Lost in New York
(P.S: Might be posted late since I have exams coming on my way!)

PREVIOUS:
Thia's Journey in the US: A Prologue 

Foto-foto lengkapnya ada di album FB-ku:
https://www.facebook.com/muthia.fadhila/media_set?set=a.1221288707966408.100002558717962&type=3 

Tulisanku tentang HMUN 2017 di PROVOKE!
http://www.thiafadhila.com/2017/04/tulisanku-tentang-hmun-2017-di-provoke.html

Saturday, May 27, 2017

Thia's Journey in the US: A Prologue


Okay. First of all, I would like to apologize for rarely making a blogpost. This trip was from the end of January. However, I just happened to write it now. Ahahah. I wrote bits of it (already 5 pages long!). Unfortunately, my laptop wasn’t being a good laptop, hence the file is gone. I decided to rewrite this now cause I really want to share my amazing experience. I will write and post this in parts, to prevent it from getting deleted (and having to rewrite all of this again ; v ;). 

Few days ago, I watched Critical Eleven with my mom and friends. There’s this tingling feel I felt during the movie since I watched it alongside the peeps who went to Harvard Model United Nations last January. Some scenes from the movie was taken in New York. Yes, that New York, the city that never sleeps. It automatically brought back our memories, our first four days in the US. 

Bareng mama, tante, sepupu

Semua berawal ketika guru PKn kami, Pak Satriwan, yang bercerita tentang salah satu kegiatan unggulan yang diikuti oleh murid-murid SMA Labschool Jakarta, Harvard Model United Nations. For those who don’t know, Harvard Model United Nations adalah lomba simulasi sidang Persatuan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan oleh Harvard University. Pelajar SMA dari berbagai penjuru dunia berkumpul mewakili salah satu dari 193 negara yang tergabung dalam PBB, berpidato menyatakan masalah yang dialami negara mereka, bernegosiasi, and we make a draft resolution to solve the problems. Sounds interesting? For a high school freshmen who’s not fully adapted yet to the high school life, it sounds TRULY interesting. I swear. Apalagi foto-foto kegiatannya dipajang di koridor sekolah. Bikin ngiler. P.S: Good luck for the 10th graders who are planning to apply! 

Dan daftarnya pun ternyata nggak seribet yang aku pikir. Cukup membuat essay sekitar 1.500-3.000 kata mengenai salah satu dari tema yang ada. The theme varies. Starting from women’s participation in government, protection for the disables during war, even ISIS. There were 25 themes in total and we can only pick one. Aku memilih tema mistreatment of the mentally ill. I remember finishing and submitting it to my teacher during the deadline. Pagi-pagi dateng ke sekolah terus nyelesain essaynya di perpustakaan bareng temen-temen. Emang perpus Labschool udah pewe abis, dah. Hahaha. 

Essay tersebut dikirim oleh pihak sekolah dan diseleksi oleh pihak Harvardnya langsung. Alhamdulillah, I got chosen as one of the 31 students who’ll spend 14 days in the US. Moreover, kami adalah satu-satunya delegasi dari Indonesia, bahkan Asia Tenggara, yang mengikuti Harvard Model United Nations. Though, we pay for all our expenses, including the training. Ya, sebelum berangkat ke US, tiap minggu, kami mengadakan latihan. The coaches, Kak Mayang, Kak Habib, dan Kak Radhiyan, adalah mahasiswa Universitas Indonesia yang sudah berpengalaman memenangkan beberapa MUN baik skala nasional maupun internasional. 

Oh iya, kami juga tidak akan berada dalam satu ruangan, melainkan berkonferensi di komite masing-masing. My first choice was United Nations Human Rights Council. Sayangnya, kami tidak mendapat slot untuk komite tersebut. My second and third choices were UN Conference on Women and UN Social Humanitarian Council. I wasn’t there when we picked the council, karena sedang mengikuti penguatan HAM. Alhasil, dapet sisaan, deh. Antara UN Security Council dan Special Political and Decolonization Committee. Sempet gambling juga, mikirin the pros and cons of both councils. Akhirnya, aku ditempatkan di SPECPOL mewakili bersama Medina. SMA Labschool Jakarta mendapat dua negara untuk diwakilkan, Angola dan Yaman. Aku mendapat Yaman. 

Dan perjuangan para delegasi HMUN telah sampailah pada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa berkumpul di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada 21 Januari 2017. 31 siswa dan 2 guru pendamping, Miss Nuniek dan Pak Agus. Aku dan mamaku menikmati santap siang di bandara. When I was about to recheck what’s on my luggage, aku baru sadar bahwa kunci koperku tertinggal di rumah. Aku langsung meminta tolong ibu (sebutan untuk tanteku) agar mengantarkan kunci koperku ke bandara. 

Ketika teman-temanku membawa dua koper besar, aku hanya membawa 1 koper besar dan 1 koper kecil untuk kabin, that’s when I realized people actually bring an empty luggage to be filled with things they bought from their destination. Pardon me as a newbie traveler. LOL. 

 Pesawat kami take off pukul 18.04. Yes, I wrote every details of what I did during the flight in my notes. Aku membawa buku saku dan pulpen di tempat aku menaruh pasporku. But I ended up enjoying the trip a little too much that I forgot to write the details once I arrived in the US. Perjalanannya cukup panjang, 7 jam hingga ke Dubai untuk transit. Sekitar pukul 00.30, kami sampai di Dubai International Airport. 

Hello, Dubai!

I was feeling so dizzy during the flight, dan aku baru ingat bahwa obat-obatanku semua kutaruh di koper bagasi. Sesampainya di bandara, aku langsung menukar 15 Dolar Singapur menjadi 35 Dirham, dan membeli obat pereda pusing warna biru seharga 10 Dirham. 

Saat aku dan teman-teman sudah berkumpul, salah satu temanku berceletuk, “Yah, sayang banget, Thi. Kenapa nggak minta aja?” I swear asking people for the medicine is the last thing to do on my list. Makin menyesal lagi ketika aku diingatkan bahwa toko-toko di bandara menerima Dolar US sebagai mata uang. I should’ve exchanged the SGD into USD instead. Aargh! 

Me getting ready for the flight

Pesawat kami dari Dubai menuju US take off pukul 2 pagi waktu Dubai (GMT+4). Sebelumnya, aku dan beberapa temanku telah berganti pakaian menjadi yang lebih hangat dan sepatu boots. Aku sendiri membawa sweater, coat, gloves, beanie, and boots yang baru saja kubeli sehari sebelum berangkat di dalam koper kabin. Kali ini, perjalanannya lebih panjang, sekitar 13 jam. I don’t really remember anything but what impressed me the most is the food. Seriously, gotta give it for da food.

NEXT:
Thia's Journey in the US: It's New York!